Cerita Fiksi Genre Fantasi Modern : Bayangan di Cermin Stasiun

Penulis: UserPro Views: 36 Baca: 5 min
Cerita Fiksi Genre Fantasi Modern : Bayangan di Cermin Stasiun
Bayangan di Cermin Stasiun Siluet seseorang berdiri di peron stasiun saat malam dan hujan Ilustrasi suasana malam di stasiun tua — cocok dengan suasana cerita.

Awal dari Bayangan

Malam itu hujan turun seperti rahasia yang tak tahan menunggu. Angga berdiri di peron Stasiun Kota Lama, menatap air yang berkedip ketika lampu stasiun memantul. Kereta terakhir baru saja pergi, meninggalkan deru yang masih bergemuruh di rel, dan sebuah kesunyian yang terasa lebih padat dari biasanya.

Ia baru saja menyelesaikan lembur panjang. Otaknya lelah, namun ada sesuatu di kaca besar ruang tunggu yang membuatnya berhenti. Bayangan dirinya tampak—tetapi tidak bergerak sama seperti ia bergerak.

Angga mengangkat tangan, melambaikan jari. Bayangan di kaca itu tetap menatap. Wajahnya sama, tapi matanya berkilau seperti logam cair. Saat Angga menunduk untuk mengikat sepatu, bayangan itu mengangkat kepalanya dan menunjuk ke belakangnya. Ia menoleh—tak ada siapa-siapa. Tapi ketika ia menatap kembali, bayangannya di kaca sudah lenyap.

Bayangan yang Tak Mengikuti

Hatinya menjerit meminta akal sehat. Ia katakan pada diri bahwa mungkin kecerahan lampu atau kantuk membuatnya salah lihat. Tapi refleksi di jendela toko ketika ia keluar stasiun menguatkan rasa tidak enak itu: bayangannya muncul di balik kaca — menatap dan tak melakukan apa pun. Ia berlari pulang, memaksa dirinya untuk percaya bahwa semua itu kebetulan.

Di apartemen yang kecil, ia menyalakan televisi untuk mendengarkan suara yang menenangkan. Berita malam menampilkan laporan singkat: seorang pria hilang di Stasiun Kota Lama tadi sore. Tas dan ponselnya ditemukan di ruang tunggu. Para petugas setempat bingung; rekaman CCTV menunjukkan tubuh pria itu pergi, namun bayangan di cermin tetap berdiri di tempat.

Angga membeku. Gambar di layar menampilkan sosok yang mirip dengannya—satu-satunya perbedaan tipis pada jaket dan rambut. Lampu apartemen padam seketika; gelap menutup ruangan seperti tirai tiba-tiba. Di layar televisi hitam, wajah bayangan muncul lagi, lebih jelas daripada sebelumnya.

Tukar Tempat

"Kenapa kamu lari?" suara itu bergema bukan dari televisi, melainkan langsung di kepalanya—sejenis gema yang membuat gendang telinganya bergetar. Angga menjatuhkan remote dan mundur, menabrak meja.

Bayangan itu tersenyum. "Waktunya hampir habis. Dunia kami retak. Dan kamu... yang seharusnya di sini."

Angga menoleh, tapi apartemen kosong. Ia menatap layar. Bayangan itu mengangkat tangan—lalu, dengan gerakan yang tampak mustahil, tangannya keluar dari permukaan gelap layar seperti asap padat. Tubuhnya dingin, keringat membeku di tulang belakang Angga.

"Tukar posisi," kata bayangan itu singkat. "Jaga tempat kami, dan kami jaga tempatmu."

Angga merasakan sebuah dorongan — bukan paksa fisik, melainkan bisikan di bagian paling takut dari pikirannya: sebuah tawaran yang terdengar benar sekaligus menakutkan. Ia mencoba berteriak, namun suaranya terperangkap di kerongkongan. Ketika tangan gelap itu menyentuh kulitnya, dunia bergelap.

Dunia di Balik Cermin

Ketika ia membuka mata lagi, ia berdiri di peron Stasiun Kota Lama. Hujan masih turun. Namun ada sesuatu yang berbeda—warna dan ruang terasa seperti dicuci dengan kain tipis. Di depan sana, tubuhnya yang lain—yang sebelumnya di apartemen—berwujud, terguncang, memegang kepala seolah mengalami pusing. Mata yang menatapnya bukan mata biasa; mereka kosong, berkilau metalik.

"Kamu menukar tempat, kan?" suara bayangan dari tubuh yang lain terdengar seperti gema yang asing. Angga merasakan kepingan kenyataan menyusun ulang posisinya. Ia bisa mendengar nyala lampu, dengungan mesin, tapi juga bisikan-bisikan kecil dari celah-celah dunia baru ini—suara yang seperti buku-buku yang berbisik dan jam yang bertanya berapa kali sudah berdetak.

Menjadi Penjaga Garis

Hari-hari berikutnya adalah kebingungan. Di apartemen, tubuh Angga yang lama—atau lebih tepatnya tiruan dari jiwa lain—menjalani rutinitas seperti biasa: bekerja, membayar tagihan, memasak mie instan. Tapi setiap malam saat ia kembali ke stasiun untuk mencari petunjuk, ia menemukan seorang pria tanpa identitas yang berjalan kaku di antara bayang-bayang, menatap cermin, dan terkadang menjerit tanpa suara saat ia sendiri menangkap kilasan wujud lain yang menunggu untuk melangkah masuk.

Hari ketujuh, ia bertemu seorang perempuan tua di bangku peron yang matanya tampak tahu banyak hal. Ia memegang secarik kertas robek, yang hanya berisi satu kalimat: "Bayangan haus tempat."

Perempuan itu mengusap tangannya. "Mereka mencari tempat yang padat dengan kenangan. Cermin cembung di ruang tunggu bukan kebetulan. Kamu mengambil tempat dari seseorang yang tidak bisa kembali. Dan ada harga."

"Harga apa?" tanya Angga, suara parau.

"Satu tugas. Jaga agar garis perbatasan tetap utuh. Jangan biarkan bayangan lain menukar. Jika kamu membiarkan garis itu robek, kota akan melahap dirinya sendiri dan kita semua akan kehilangan ruang di antara napas dunia."

Keputusan Akhir

Suatu malam, seorang pria berkubah dengan mata seperti jam pasir mencoba memasuki bingkai cermin. Angga tahu ia harus bertindak. Ia berdiri tegak di depan kaca ruang tunggu, menatap lurus ke mata pria berkubah. Dengan energi kecil yang baru ia temukan di dalam, ia mengucapkan kata-kata tak sengaja yang terasa seperti doa dan rumus—kata-kata yang ia dapat dari bisikan di langit-langit stasiun.

Sebuah getaran lewat; kaca beriak layaknya air. Pria berkubah ragu, lalu menghilang seperti asap yang dipaksa mundur. Garis-garis di pinggiran lantai seperti retakan halus menyatu kembali. Angga merasakan lelah yang menusuk, tetapi juga lega.

Ia menulis sepucuk surat kecil dan menyelipkannya di bawah bangku ruang tunggu, berharap siapa pun yang mungkin menempati posisinya kelak dapat menemukan petunjuk. Surat itu berisi kata-kata sederhana: "Jangan lari. Tanyakan. Dengarkan lampu. Dan jika mereka menunjuk, lihatlah ke mana mereka menunjuk—bukan hanya ke permukaan."

Penutup

Ia menatap cermin untuk terakhir kali malam itu. Bayangan di cermin menatap balik dan, untuk pertama kalinya sejak malam pertama, mengangguk. Sebuah perjanjian tanpa kata telah dibuat: ia akan menjaga garis, dan garis itu akan menjaga kota agar tetap utuh.

Angga berjalan kembali ke peron, tidak lagi mencari pintu keluar. Di dunia yang retak itu, tugasnya sederhana dan sunyi—menjaga agar bayangan tidak menelan realitas. Ia menemukan ketenangan dalam rutinitas baru, seperti orang yang akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk menaruh barang-barang ingatannya.

Di sebuah kota yang terus hidup dan lupa, ia menjadi penjaga halus antara dua cermin: nyata dan refleksi. Dan meskipun tak seorang pun lagi menyebutnya pahlawan, tiap kali lampu stasiun berkedip dan hujan berbisik, Angga tahu ia membuat pilihan yang benar—bahkan jika pilihan itu berarti hidupnya tidak lagi sepenuhnya miliknya.

Suka Menulis? Ayo Bergabung dengan Kami Segera dan Hasilkan Pendapatan Mengalir.
Share

Related Posts

© 2025 ViewLink - Making Money With Write Konten
-->